Jumat, 02 April 2010

Horor, Fiksi, atau Fakta?

PADA tahun 1950-an, Riyono Pratikto dikenal sebagai cerpenis yang produktif dengan cerita seramnya. Apabila Pramoedya mengatakan Riyono mempunyai tempat tersendiri, mungkin karena pada waktu itu jarang sekali pengarang spesialis cerita seram. Maraknya majalah dan tabloid seperti Kisah, Roman, Zenith, Gema, Gema Suasana, Indonesia, Gaya, Siasat, Spektra, Merdeka, Mimbar Indonesia, dan sebagainya, tentu saja menjadi bagian penting dari produktifitas Riyono. Seperti yang pernah ditulis oleh Sobron Aidit, dalam Sejumput Kenangan (Cerita dari Tanah Pengasingan), pada suatu pertemuan antara pengarang di massa itu di antaranya Ajip Rosidi, Trisnoyuwono dan Syumanjaya, tiba-tiba Riyono pamitan karena ia harus menyelesaikan cerita pendeknya. Tentu saja Sobron mencegahnya, mungkin obrolan itu akan terasa “kurang” tanpa kehadiran Riyono. Dan kemudian Riyono menyelesaikan cerita pendeknya yang sudah ditunggu oleh sebuah majalah itu di kamar Ajip, dengan sebuah mesin tik tua.

“Dan sedapnya, dia sering lupa sudah nomor berapa yang harus disambungnya pada majalah Roman atau Prosa, atau yang lainnya!” tulis Sobron dalam Sejemput Kenangan.

Buku kumpulan cerpen terbaru Riyono Pratikto, Si Rangka (Pustaka Jaya, 2002), sempat diperbincangkan dalam sebuah diskusi di Panglawungan Girimukti, awal bulan Nopember 2002. Suasana diskusi yang dimoderatori Benny R. Budiman itu sempat “mencekam”. Mungkin masalah yang dibicarakan lain dari biasanya; seputar hantu, horor dan makhluk halus.

Cerpen-cerpen Riyono Pratikto dalam Si Rangka, seperti yang disampaikan Acep Iwan Saidi, boleh dikatakan menakutkan, misterius, horor. Acep berpendapat, diperlukan keberanian tersendiri jika kita mau membaca Si Rangka pada malam hari menjelang tidur. Lantas, apa yang menakutkan dalam cerpen-cerpen itu?

Sebelum mengupas Si Rangka, Acep yang menjadi pembicara pada diskusi itu, terlebih dahulu memberikan pengertian tentang horor itu sendiri. Menurutnya, peristiwa-peritiwa horor hanya terjadi dalam cerita, tidak dalam realitas. Cerita-cerita horor seperti itu kemudian membuat sebuah struktur mitos yang dapat menimbulkan kepercayaan sebagian masyarakat terhadap adanya hantu, mahluk halus, mayat hidup, atau apa saja sebutannya.

Namun dalam analisis Acep, cerita horor dalam cerpen-cerpen Riyono bukan semata-mata cerita yang menakutkan, mengerikan, tetapi ada jejak yang masih dapat kita telusuri darimana peristiwa itu berasal. Peristiwa horor yang diangkat oleh pengarang bukan berarti tanpa sejarah, bahkan merupakan representasi dari realitas.

Acep mencoba membidik peristiwa horor dalam cerpen Riyono dari kacamata logika. Mengasyikan memang, menggali kisah misterius dengan pendekatan realitas, dan Acep cukup berhasil menganalisisnya. Misalnya, ketika tokoh Suriah dalam cerpen Si Rangka sering mendengar suara biola pada malam hari yang berasal dari balik tembok kamar kerja suaminya, Acep menilai bahwa suara biola itu merupakan penkonkritan dari kesepian dan penderitaan tokoh Suriah. Kegelisahan Suriah yang dilatar-belakangi oleh sikap “acuh” suaminya, direalitaskan oleh pengarang menjadi hal-hal yang menakutkan; suara biola, rintihan kesakitan, bahkan dengan munculnya tokoh misterius seperti Naryo. Singkatnya, kejadian-kejadian seram dalam cerpen-cerpen Riyono muncul dari dalam diri manusia itu sendiri; dari perasaan takut, kecewa, tertekan, ambisi yang berlebihan, dan lain-lain. Walaupun pada beberapa cerpen Riyono, menurut Acep, fokus pengisahan sering puyar akibat terlalu berlama-lama bermain di fungsi katalisator.

Pendapat seperti itu, tentu saja bukan satu-satunya pemahaman. Pada sesi perbincangan selanjutnya, banyak tanggapan dari peserta diskusi terhadap analisis Acep tersebut. Umumnya, pendapat para peserta diskusi berkisar seputar pernyataan apakah munculnya kejadian seram tersebut bersifat sugestif atau sebagai metafor. Menurut Hawe Setiawan, ada juga kecenderungan cerpen-cerpen Riyono dilatar-belakangi oleh perjalanan hidup pengarang yang pernah mengalami kejadian tragis. Pengarang yang dipecat dari pekerjaannya karena diisukan menjadi anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) itu, sejak kecil hidupnya penuh dengan misteri. Ayahnya, Komisaris Pratignjo Wirjoatmodjo, Kepala Polisi Ambarawa dan Salatiga, diculik pada tahun 1945 oleh sekelompok pemuda tak dikenal dan sampai saat ini tidak diketahui bagaimana nasibnya.

Seperti yang ditulis koran Republika pada 5 Agustus 2001, cerpen-cerpen yang ditulis Riyono mungkin juga dipengaruhi oleh pengalamannya ketika menyaksikan pertempuran di Semarang. Peristiwa yang kemudian dikenal Pertempuran Lima Hari itu memberinya pengalaman yang sangat mendalam. Mayat-mayat korban pertempuran yang bertumpuk di dekat gubernuran terus melekat dalam ingatannya.

***

MITOS tentang adanya mahluk halus dan sejenisnya masih menyisakan perdebatan sampai saat ini dan pada akhirnya berujung pada kepercayaan seseorang. Mungkin juga kisah hantu ini menjadi fenemona yang menarik untuk diteliti. Di Amerika misalnya, para ghost hunter (pemburu hantu) berusaha untuk melakukan pembuktian tentang makhluk halus dengan menggunakan peralatan canggih. Dan bagi mereka yang suka berselancar di dunia maya, “unak-anik” hantu dapat ditemukan di situs ghostweb.com atau hauntedhouse.com.

Namun situs skeptic.com berbicara lain. Kepercayaan orang-orang terhadap mahkluk halus dan sejenisnya, lebih cenderung dikarenakan kekeliruan dalam proses berpikir. Seperti yang ditulis Michael Shermer, pendiri dan penerbit Majalah Sceptic dalam bukunya Why People Believe Wierd Things yang kemudian dikutip majalah Intisari, kekeliruan itu berasal dari proses berpikir ilmiah semu, masalah logika, dan masalah kejiwaan.

Dalam beberapa cerita seram, hantu direlitaskan menjadi sosok yang menakutkan, dengan muka yang sangat mengerikan. Pembaca, pendengar atau penonton dalam kisah horor tersebut, dapat mengindentifikasi bentuk hantu itu sendiri, misalnya dengan gigi-giginya yang runcing, berjalan tanpa menginjak tanah, mukanya berlumuran darah, dan sebagainya. Ada kecenderungan bahwa cerita seperti itu dibuat hanya untuk menakut-nakuti, tanpa ada alasan yang jelas mengapa bentuk hantu digambarkan seperti itu. Cukup sulit untuk dibuktikan secara empiris.

Dalam cerpen-cerpen Riyono, kita mendapatkan sisi lain dari kisah supranatural; sebuah rangkaian ketegangan yang diracik sedemikian rupa, sehingga - meminjam pendapat H.B. Jassin - menimbulkan perasaan ngeri sampai akhir cerita. Pengarang tidak menampilkan sosok hantu yang perlu ditakuti dalam cerpen-cerpennya, tetapi alur cerita yang dipenuhi ketegangan itu terkadang membikin berdiri bulu kuduk, apalagi pengarang menuntaskannya dengan ending yang tragis.

Si Rangka memuat 12 cerita pendek yang dibuat pada 1951-1956. Berbagai persoalan hidup diangkat oleh pengarang; wanita yang kesepian dan menderita akibat tekanan batin (Si Rangka), kekecewaan suami ketika istrinya keguguran (Kepanjangannya), kegelisahan sang pelukis ketika mendengar cerita sadis (Pada Sebuah Lukisan); obsesi yang berlebihan (Batu Alam), dan sebagainya. Masalah-masalah seperti itu, diungkap oleh pengarang pada atmosfir horor dan diakhiri dengan peristiwa mengerikan; matinya tokoh Suriah (Si Rangka), anjing berubah menjadi gadis cantik (Kepanjangannya), pelukis diterkam macan (Pada Sebuah Lukisan), membunuh anak sendiri (Pembalasan Pada Manusia), dan sebagainya.

Hantu - dalam ilustrasi pengarang - hanya dimunculkan melalui ilusi tokoh-tokohnya, yang menurut Acep berawal dari kegelisahan, ketakutan dan tekanan batin. Misalnya, ketika sang istri dalam cerpen Pembalasan Pada Manusia menempati rumah dekat pekuburan, ia kemudian bermimpi mayat dalam kuburan itu bangkit kembali dan berkata ingin membunuh manusia. Kegelisahan sang istri menjadi kenyataan, tatkala sang suami menemukan sepotong gigi manusia dari buah singkong yang ditanam di atas pekuburan itu. Dan pada akhirnya, sang suami - dalam pandangan sang istri dan tetangganya - berubah menjadi mahluk mengerikan dan kemudian membunuh anaknya sendiri. Demikian juga pada cerpen Tawanan yang Lari, seorang tawanan selama beberapa hari dilanda rasa takut ketika tangan kirinya tidak bisa dilepaskan dengan tangan polisi yang sudah terpotong. Tangan polisi itu mengikutinya ke mana ia pergi, membusuk, dan menimbulkan kengerian yang mendalam. Akhirnya si tawanan mati ditembak patroli tentara.

Dengan kepiawaiannya dalam menggunakan bahasa, terkadang Riyono memunculkan humor dibalik keseraman itu. Pada cerpen Tiga Benua misalnya, ketegangan dimulai dari “kekeliruan”, dan ini membuat kita sedikit tersenyum. Sebuah keluarga merasa terganggu ketika rumahnya sering dimasuki pencuri. Untuk mencegahnya, seorang kenalan keluarga itu berniat menempatkan empat jin di setiap penjuru rumah. Saran yang tidak logis itu akhirnya diterima juga, dengan catatan semua jin harus laki-laki. Tetapi si kenalan melakukan sebuah kesalahan, ia malah menempatkan seorang jin wanita di antara empat jin itu. Perseteruan di antara tiga jin laki-laki tidak dapat dihindarkan lagi untuk memperebutkan jin wanita. Dua di antaranya mati setelah berbulan-bulan mengadakan duel. Sepasang jin yang masih hidup kemudian kawin dan mempunyai anak. Terjadilah perebutan kekuasaan antara jin dan manusia. Namun diam-diam, tumbuhan bunga yang ditanam oleh pemilik rumah mempunyai niat yang sama. Dan akhirnya, kompetisi antara manusia, jin dan tumbuhan itu dimenangkan oleh tumbuhan bunga.

Bagaikan menyaksikan seseorang yang tengah mendaki gunung, menghadapi berbagai rintangan, namun ketika sampai di puncak ia malah terperosok ke jurang yang dalam. Itulah cerpen-cerpen Riyono. Ketika tokoh-tokoh dalam Si Rangka terjerat dalam ketakutan, kesedihan, kekhawatiran, kegelisahan, serta gejolak batin lainnya, dan kemudian terlena dengan perasaannya itu, mereka tidak dapat berpikir secara logis dan perbuatannya kemudian menjadi di luar kontrol. Kegundahan ini diilustrasikan oleh pengarang menjadi sesuatu yang menyeramkan. Adapun pilihan ending yang tragis, menurut saya merupakan “konsekwensi” dari perbuatan sang tokoh dalam menyikapi gejolak batinnya. Sehingga apabila kita meminjam kembali pendapat Michael Shermer, munculnya kejadian seram dalam cerpen Riyono lebih didominasi oleh masalah kejiwaan.

Apakah kisah seram dalam Si Rangka merupakan bagian dari mitos yang berkembang di masyarakat? Jelasnya, Si Rangka adalah karya fiksi yang dengan imajinasi sang pengarang dapat dibuat sedemikian rupa. Namun, kalau kita mencermati tinjauan Ignas Kleden tentang fakta dan fiksi (Jurnal Kebudayaan Kalam Edisi 11, 1998), mungkin saja kita sedikit bingung untuk menentukan batasan fakta dan fiksi tersebut. Sehingga, setelah membaca cerpen-cerpen Riyono, muncullah pertanyaan : mungkinkah hantu dan makhluk halus itu menjadi bagian realiatas kehidupan kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar