Kamis, 14 Januari 2010

Persaingan Tidak Sehat Dalam Dunia Bisnis

Akhir-akhir ini banyak sekali persaingan bisnis yang tak sehat. Menurut salah satu Surat Kabar Jakarta :"sekitar 60 perusahaan periklanan di jakarta terpaksa tutup akibat persaingan yang tidak sehat.". Apabila kondisi ini tidak segera di atasi, lambat laun akan berakibat buruk didalam dunia bisnis. Kecurangan dan saling mencemooh merupakan persaingan bisnis yang tidak sehat. Persaingan bisnis memanglah wajar tetapi hendaknya dilakukan secara sehat.

Contoh isu kasus SMS setan dengan menggunakan salah satu kartu perdana operator seluler,merupakan persaingan bisnis yang tidak sehat, hal ini tentu saja berdampak buruk dan pada akhirnya dapat menjatuhkan reputasi operator seluler tersebut. Walaupun belum diketahui siapa saja pihak yang terlibat didalam kasus ini dan apa motif dari kasus ini,tetap saja hal ini meresahkan bagi dunia bisnis.

Persaingan bisnis tak sehat antara operator pun kian merambak, banyak operator seluler yang saling menjatuhkan lawan/pesaing bisnisnya. Para operator seluler gencar melakukan promosi tarif murah pemakaian seluler, cara-cara seperti ini dilakukan hanya untuk menarik konsumen. Sebagai konsumen hendaknya kita tidak termakan iming-iming janji palsu yang ditawarkan. Seharusnya pihak operator seluler merasa malu terhadap persaingan bisnis seperti ini.

BISNIS YANG TIDAK BERETIKA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pengertian Etika Bisnis
Etika bisnis adalah standar-standar nilai yang menjadi pedoman atau acuan manajer dan segenap karyawan dalam pengambilan keputusan dan mengoperasikan bisnis yang etik. Paradigma etika dan bisnis adalah dunia yang berbeda sudah saatnya dirubah menjadi paradigma etika terkait dengan bisnis atau mensinergikan antara etika dengan laba.
Etika bisnis sangat penting mengingat dunia usaha tidak lepas dari elemen-elemen lainnya. Keberadaan usaha pada hakikatnya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Bisnis tidak hanya mempunyai hubungan dengan orang-orang maupun badan hukum sebagai pemasok, pembeli, penyalur, pemakai dan lain-lain (Dalimunthe, 2004).

1.2 Praktik Bisnis Masih Abaikan Etika
Rukmana (2004) menilai praktik bisnis yang dijalankan selama ini masih cenderung mengabaikan etika, rasa keadilan dan kerapkali diwarnai praktik-praktik bisnis tidak terpuji. Hal ini mengindikasikan bahwa di sebagian masyarakat kita telah terjadi krisis moral dengan menghalalkan segala mecam cara untuk mencapai tujuan, baik tujuan individu memperkaya diri sendiri maupun tujuan kelompok untuk eksistensi keberlanjutan kelompok. Terapi ini semua adalah pemahaman, implementasi dan investasi etika dan nilai-nilai moral bagi para pelaku bisnis. Baswir (2004) berpendapat bahwa pembicaraan mengenai etika dan moral bisnis sesungguhnya tidak terlalu relevan bagi Indonesia. Jangankan masalah etika dan moral, masalah tertib hukum pun masih belum banyak mendapat perhatian. Sebaliknya, justru sangat lumrah di negeri ini untuk menyimpulkan bahwa berbisnis sama artinya dengan menyiasati hukum. Akibatnya, para pebisnis di Indonesia tidak dapat lagi membedakan antara batas wilayah etika dan moral dengan wilayah hukum. Wilayah etika dan moral adalah sebuah wilayah pertanggungjawaban pribadi. Sedangkan wilayah hukum adalah wilayah benar dan salah yang harus dipertanggungjawabkan di depan pengadilan. Akan tetapi memang itulah kesalahan kedua dalam memahami masalah etika dan moral di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

Contoh Kasus
SUARA PEMBARUAN DAILY
PERSAINGAN INDUSRTRI TV BERBAYAR TIDAK SEHAT
"Sesame Street" menjadi salah satu paket tayangan TV berbayar.
[JAKARTA] Pemerintah diminta segera menetapkan kebijakan khusus untuk perkembangan industri TV berbayar atau Pay TV di Indonesia. Kebijakan tersebut penting untuk mengatur persaingan atau kompetisi antar-TV berbayar yang saat ini sudah mulai tidak sehat. Monopoli dan eksklusif siaran dipilih sebagai jalan cepat untuk menarik konsumen berlangganan. Pandangan tersebut dikemukakan Pengamat Media dari Universitas Indonesia, Ade Armando ketika dihubungi SP, Rabu (12/3). Ia mengatakan persaingan usaha yang tidak sehat antar- Pay TV berdampak pada kenyamanan publik memperoleh informasi. "Sudah saatnya pemerintah campur tangan dalam perkembangan industri Pay TV. Apabila dibiarkan saja, para pelaku industri bisa saling membunuh dengan cara berlomba menyajikan siaran eksklusif bagi penonton," papar Ade kepada SP. Ade mengatakan, pemerintah mau tidak mau harus mengakui bahwa persaingan industri TV berbayar cenderung mu- lai mengabaikan aturan. Persaingan usaha yang tidak sehat itu berdampak pada kenyamanan publik untuk memperoleh hak siaran dalam sebuah stasiun televisi. Sebelumnya Ade yang juga pernah bergabung dalam Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dalam diskusi tentang perkembangan TV berbayar di Indonesia, mengatakan sudah saatnya pemerintah mulai mengatur jumlah TV berbayar yang bergabung dan masuk ke Indonesia. Jangan asal memberikan izin masuk tanpa ada pemeriksaan yang maksimal, kata Ade.
Pengaturan masuknya TV berbayar ke Indonesia nantinya akan menjadi alat kontrol dalam persaingan usaha di industri yang masih terus berkembang. Diharapkan melalui campur tangan pemerintah, industri TV berbayar tidak lagi diperbolehkan industri memiliki siaran eksklusif atau memonopoli siaran tertentu. "Masyarakat jelas memiliki hak untuk mendapat informasi melalui siaran yang disajikan televisi. Tetapi apabila untuk mendapatkan satu siaran masyarakat diwajibkan membayar, tindakan itu sudah melanggar hak publik," papar Ade. Secara terpisah, Wakil Presiden PT Direct Vision (Astro) Halim Mahfudz kepada SP mengatakan tidak salah bila satu TV berbayar memiliki siaran yang eksklusif. Bahkan dalam Undang-Undang Anti Monopoli dikemukakan arti hak eksklusif dalam Pasal 50 butir (b) UU No. 5 Tahun 1999 (UU Anti Monopoli). Dalam aturan ini jelas menyatakan bahwa seluruh perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual, seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba, dikecualikan dari ketentuan UU Anti Monopoli. Karenanya, hak eksklusif merupakan pengecualian absolut. Keuntungan dari siaran ekslusif yakni untuk mempertahankan pelanggan atau strategi pasar menarik konsumen. Menurut Halim, siaran eksklusif tidak menyalahi aturan, mengingat siaran eksklusif merupakan alat untuk berkompetisi.
Sebaliknya, Ade Armando menilai Indonesia dinilai sudah kelewatan memberikan kebebasan pada TV berbayar internasional untuk masuk dalam industri televisi. TV berbayar yang berjumlah lebih dari 20 jenis akan berlomba-lomba menjadikan suatu siaran eksklusif, sehingga penonton yang ingin mendapatkan siaran tertentu hanya bisa diperoleh di satu TV berbayar khusus. TV berbayar merupakan layanan jasa penyiaran televisi (audio visual) yang hanya dapat di akses oleh pemirsa dengan membayar biaya berlangganan. TV berbayar sangat bergantung pada penyedia kanal (channel), terutama penyedia premium channel seperti ESPN, Star Sports, dan HBO.
Kenyamanan Publik
Saat ini, ada beberapa siaran yang hanya bisa di akses dari satu TV berbayar. Masyarakat harus membayar Rp 200.000- Rp 250.000 untuk bisa melihat siaran tersebut. Tindakan itu sebetulnya sudah melanggar kenyamanan publik untuk memperoleh informasi, sehingga hanya orang dengan kondisi ekonomi atas saja yang bisa menikmati siaran tersebut. "Selain jumlah Pay TV yang beredar di Indonesia, pemerintah juga wajib mengatur isi siaran dalam Pay TV. KPI dan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) juga memiliki andil besar dalam perkembangan Pay TV," ujar Ade. Sementara itu Corporate Secretary Indovision Arya Sinulingga berpendapat, keberhasilan penyelenggara TV berbayar bergantung kepada kemampuan dalam menyediakan paket yang menarik bagi pemirsa. Tetapi, dalam menyediakan materi semua TV berbayar harus tetap fair atau tidak monopoli sebuah siaran. "Asalkan semua Pay TV yang ada bermain sesuai aturan, dijamin kompetisi yang tercipta sehat. Sayangnya, saat ini kompetisi yang terjadi justru saling rebut isi siaran," kata Arya.
Beberapa kanal premium atau TV berbayar di Indonesia terbagi menjadi enam jenis, yakni seni dan hiburan (MTV, Fashion TV, E! Entertainment, StarWorld , dan V Channel), olah raga (ESPN, Star Sports, dan Euro Sports), film (HBO, Star Movies, dan Cinemax), berita (CNN, BBC, ABC, dan NHK), ilmu pengetahuan (Discovery Channel, Nat Geo, dan Animal Planet), anak-anak (Playhouse Disney, Disney Channel, Cartoon Networks, dan Nickledeon). Terkait dengan upaya Astro yang juga menjadi pesaing Indovision, Arya menanggapi tindakan Astro memonopoli siaran Liga Inggris berdampak negatif pada pertumbuhan industri. Untuk itu, rencananya Indovision akan menggugat Astro agar bisa menggunakan cara yang lebih sehat untuk bersaing. "Para pemain di industri Pay TV tidak keberatan bila Astro bermain fair. Tujuan hadirnya industri Pay TV adalah memberikan siaran terbaik bagi penonton. Jadi itu yang seharusnya dijadikan landasan oleh semua industri Pay TV," papar Arya. Jumlah pelanggan TV berbayar Indonesia di 2006 mencapai 476.000, jumlah tersebut masih rendah dibandingkan pelanggan di Tiongkok dan India. Ditambahkan Arya, penetrasi TV berbayar di Indonesia paling rendah yakni hanya mencapai 2 persen. Sementara penetrasi di Korea mencapai 93 persen, India (61 persen), dan Tiongkok (37 persen). [EAS/U-5]
Last modified: 13/3/08





BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Bentuk persaingan antara TV Prabayar harus diciptakan persaingan yang sehat. Undang-Undang Anti Monopoli dikemukakan arti hak eksklusif dalam Pasal 50 butir (b) UU No. 5 Tahun 1999 (UU Anti Monopoli). Dalam aturan ini jelas menyatakan bahwa seluruh perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual, seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba, dikecualikan dari ketentuan UU Anti Monopoli. Karenanya, hak eksklusif merupakan pengecualian absolut. Keuntungan dari siaran ekslusif yakni untuk mempertahankan pelanggan atau strategi pasar menarik konsumen.
3.2 Saran
1. Persaingan antara TV Prabayar yang menitik berat pada harga yang murah dan memperhatikan kualitas jaringan sehingga dapat dikonsumsi oleh konsumen berbagai kalangan. Kemudian sering itu layanan yang diberikan selalu perhatikan kebutuhan pelanggan,
2. Perlu kreatifitas bagi pelaku bisnis dalam membuat inovási-inovasi program/siaran TV tersebut serta memberikan kepuasan layanan terhadap pengguna dan sekaligus memberikan keuntungan perusahaan yang berkelanjutan, sehingga masyarakat yang belum mendapatkan fasilitas tersebut dapat juga menimati.

Rabu, 06 Januari 2010

Tekstil China Belum Masuk Cipadu

Rabu, 6 Januari 2010 | 17:35 WIB

Serbuan tekstil asal China pascaperdagangan bebas China ASEAN atau CAFTA belum sampai ke pasar tekstil di Cipadu Kreo, Tangerang, Banten. Demikianlah yang disampaikan beberapa pedagang tekstil di pasar Cipadu, Rabu (6/1/2010).

Seorang pedagang tekstil Cipadu, Saiful, mengaku iri dengan pedagang lain di Tanah Abang yang telah mendapat pasokan produk tekstil China. "Kami belum dapet jatah. Kalau Tanah Abang sudah semua, saya saja sudah ngiri. Sudah enggak sabar, penasaran banget," ujar Saiful saat ditemui di kiosnya.

Menurut Saiful yang mengaku telah melihat katalog tekstil China, barang Negeri Tirai Bambu tersebut dinilainya lebih kaya motif dan menarik dibandingkan motif tekstil domestik. "Motif itu berpengaruh sekali, pembeli kan lihatnya motif. Kalau kualitasnya sih saya belum tahu, kan belum masuk," ujarnya.

Hal senada dikatakan Anton, pedagang tekstil Cipadu lainnya. Menurut Anton, produk China belum sampai ke Cipadu sehingga produk domestik masih mendominasi dagangannya. "Kualitasnya sih kelihatannya bagusan luar," kata Anton.

Kedua pedagang tekstil Cipadu itu juga mengaku, penjualan mereka pada awal 2010 masih lesu. "Sepi, Mbak. Mungkin tahun baru, ya. Motif tahun lama enggak laku. Sekitar 40 persen-lah turunnya," ujar Saiful.

Kebijakan perdagangan bebas China ASEAN yang berlaku sejak Januari 2010 membuat sebagian besar pelaku usaha tekstil khawatir terhadap serbuan tekstil China yang mengancam produk tekstil domestik.

Sumber (Kompas.com)